Saat bertemu dengan Ekoningsih M Lema saya tertegun dengan kisah yang ia ceritakan. “Bagi ibu hamil, kematian bisa terjadi di rumah, jalan bahkan di fasilitas kesehatan,” kata warga Kupang ini kepada saya saat berjumpa awal bulan November di Jakarta. Kepada saya, ia bercerita ada ibu rumah tangga yang akan melahirkan, namun di dalam rumah tak ada suami karena sedang pergi berkebun. Tak ada telepon genggam untuk berkomunikasi karena lokasinya yang teramat jauh dari ibu kota Kupang. Keluarga meminta agar jangan mengantar ibu hamil ini ke rumah sakit terlebih dahulu sebelum sang suami menyetujui. Sang suami dibutuhkan untuk memutuskan apakah sang istri ini dapat melahirkan di klinik atau tidak. “Proses pengambilan keputusan telat,” ungkap aktivis perempuan di Kupang ini.
Dampak dari menunggu itu, sang ibu mengalami kekurangan darah, badannya mulai menguning dan bergetar. Ketika suami datang dan diantar ke dokter, ibu hamil ini mengalami pendarahan. Kantong darah tak tersedia. Keluarga kemudian berupaya mencari pertolongan ke Palang Merah Indonesia (PMI) dan pasien di rujuk ke RS daerah. Tapi sayangnya, dalam perjalanan, sang ibu dan bayi meninggal dunia.
Ada kisah lain, serupa tapi tak sama. Seorang ibu terpaksa menunda keberangkatan ke klinik karena menunggu suami pulang dari kota. Rasa sakit tak tahan untuk melahirkan harus ditahan karena harus menunggu. Setelah sang suami datang, ibu itu kemudian diijinkan untuk ke klinik untuk melahirkan. Namun perjalanan ke klinik tak semudah yang dibayangkan. “Harus naik gunung dan jalannya berkelok-kelok,” kata Ningsih kepada saya. Jarak dari rumah ke klinik sangat jauh. Tiba di klinik, tak ada satu pun petugas kesehatan yang ada. “Klinik kesehatannya ada, tapi tak ada satu pun tenaga medis,” kata Ningsih. Ataupun, ada klinik dan tenaga medis tapi peralatan medis penunjang, tak memenuhi. Kalaupun ada tenaga medis, namun pasien membutuhkan transfusi darah maka akan menimbulkan kendala. Pada beberapa kasus, melahirkan dapat menyebabkan pendarahan sehingga dibutuhkan transfusi darah. Namun untuk mencari transfusi darah tentu tak mudah.
Di Kupang, budaya patriakhi sangatlah kental. Pengambilan keputusan, bahkan untuk keselamatan perempuan, harus di tangan pria. Di satu sisi, pemenuhan kesehatan di wilayah Kupang amat sangat kurang. Terutama untuk wilayah pedalaman yang sangat susah dijangkau. “Ada bidan yang kalau telepon dokter harus naik gunung dulu. Padahal ada pasien yang harus segera diobati,” kata Ningsih.
Di Kupang, angka kematian ibu dan bayi cukup tinggi. Angka kematian ibu dan anak pada saat kelahiran di Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati urutan tertinggi yakni 300 per 100.000 jumlah kelahiran, dari total 230 per 100.000 jumlah kelahiran di Indonesia. Angka ini tercatat dalam profil kesehatan nasional 2001-2006 yang dikeluarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Rikardus Wawo, Sekretaris Eksekutif Forum Parlemen DPRD NTT, yang diwawancara NTT Expo.com pada April 2015 mengatakan, penyeybab tingginya angka kematian ibu dan anak ketika melahirkan yaitu kurangnya bidan terlatih, minimnya akses masyarakat ke posyandum dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan reproduksi.
Sedangkan berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kupang, penyebab ibu meninggal itu disebabkan pendarahan dan infeksi. Sedangkan penyebab bayi meningggal adalah infeksi, diare dan sebagainnya. Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, dr.Ary WIjaya mengatakan pihak pemerintah daerah telah membentuk Perda tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita. Selain itu, ada juga Peraturan Wali Kota tentang KIBBLA, peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan, pembuatan SOP pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), perbaikan gizi melalui PMT-P bagi ibu hamil.
Perjuangan Melawan Tradisi Terkait Ibu dan Bayi yang Baru dilahirkan
Selain patriarkhi yang masih kental, pelestarian tradisi pun hingga kini masih terjadi. Di Desa Jenilu, Nusa Tenggara Timur, ada tradisi ibu dan bayi yang baru lahir dimasukkan ke dalam ruangan yang dipenuhi asap dari kayu bakar atau disebut panggang api. Ibu dan anak ini tidur di ranjang yang bagian bawahnya dipasang bara api. Seperti proses memanggang daging atau makanan lain. Hal ini dilakukan selama dua hingga tiga jam. Warga setempat menganggap bahwa tradisi ini membuat si bayi lebih kuat dan asap membuat ibu dan bayi selalu merasa hangat.
Ritual ini dilakukan selama 42 hari. Tradisi ini masih dilaksanakan masyarakat Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk Atupupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Desa ini berjarak 12 kilometer dari perbatasan Timor Tengah. Ritual yang dianggal dapat menghangat ibu dan bayi ini teryata membawa efek negatif kepada ibu dan anak. Setelah ritual ini, teryata banyak ibu yang anemia dan sang bayi mengalami gangguan pernapasan.
Perjuangan untuk menghapus ini tentu tak mudah. Bidan Rosalinda Delin, yang merupakan finalis Srikandi Award mengatakan banyak masyarakat tidak tahu kalau budaya panggang api ini berbahaya bagi kesehatan. Dalam wawancara Rosalinda dengan JPNN.com, genap sebulan sebelum bekerja, dia mengumpulkan kepala desa, camat, kepala suku hingga sesepuh adat. Dalam pertemuan itu, ia langsung bekata bahwa upacara panggang api ini harus dihentikan. Namun tak mudah untuk mewujudkan itu karena tantangan yang kuat. DIa menemukan media sosialisasi yang mura dan mudah didapat yakni ikan. Setelah ditusuk dengan kayu, ikan itu dipanggang di atas bara api yang telah mengeluarkan asap. Ikan itu kemudian kering, matang dan siap dimakan. Perjuangan ini membuat Rosalinda dipromosikan menjadi bidang kecamatan pada 2006. Empat tahun kemudian dia menyabet penghargaan bidan teladan tingkat Provinsi NTT.
Apa yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa tradisi merupakan salah satu contoh daerah yang masih kental memegang tradisi yang teryata malah menyebabkan dampak kepada ibu dan bayi yang baru dilahirkan.
Peran Lembaga Sipil dan Pemerintah dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu contoh yang masih banyak kaum perempuan mengalami keterbatasan akses kesehatan. Di daerah lain, tentu masih banyak juga keterbatasan ini terjadi. Padahal, Indonesia saat ini ‘berjuang’ untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada 2030 atau Sustainable Development Goals (SDGs). Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan seperangkat tujuan dan target pembangunan yang disepakati para pemimpin negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia. Setiap negara memiliki kewajiban sosial dan moral untuk mencapai 17 tujuan dan 169 target SDGs di tahun 2030.
Salah satu tujuan adalah tujuan 5 yakni mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan serta remaja perempuan. Selain itu, memastikan bahwa perempuan mendapat kesempatan yang sama di semua bidang. Pada khususnya, memastikan akses kesehatan seksual dan reproduksi dan hak reproduksi dapat terpenuhi.
Namun untuk mewujudkan ini bukan sesuatu yang mudah. Keterlibatan pemerintah daerah secara inklusif dan partisipatif masih belum dapat dilakkukan. Padahal, tanpa pelaksanaan oleh 400-500 Kabupaten dan Kota di Indonesia, perwujudan SDGs di Indonesia hanya rencana tanpa pelaksanaan. Pentingnya keterlibatan daerah dalam SDGs ini juga ditulis koran Kompas Kamis, 10 November 2016. Namun, adanya keterbatasan informasi dan kapasitas pemda membuat kegagalan mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) terulang.
Pemerintah mempunyai catatan negatif dalam program MDGs karena tidak dapat mencapai tiga target penting dalam pembangunan terkait kesehatan ibu dan anak yakni :
Menekan angka kematian ibu saat persalinan
Menekan angka kematian ibu saat persalinan
Menurunkan penyebaran virus HIV/AIDS
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Anung Sugiharto, saat di wawancara koran Kompas mengatakan periodisasi pemerintah pusat dan daerah tak sama. Alhasil, ada kendala dalam penyusunan rencana pembangunan secara serempak. Di satu sisi, masing-masing kepala daerah memiliki visi dan misi yang kurang selaras dengan program strategis pemerintah pusat. Padahal, pelibatan Pemda ini untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) khususnya terkait kesehatan, masih menjadi tantangan.
Tak hanya keterlibatan pemerintah saja yang dibutuhkan untuk memenuhi SDGs ini. “Masyarakat dan lembaga sipil juga diperlukan dalam perumusan indikator sehingga dapat banyak banyak indikator yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata Dewi Koma, Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia. Jika terjadi sinergi antara masyarakat, pemerintah, jurnalis dan blogger serta lembaga sipil terwujud, pemenuhan perlindungan kesehatan pada perempuan dapat terwujud. No one leave behind.
Sumber :
http://www.metronews.me/angka-kematian-bayi-di-kota-kupang-cukup-tinggi/
http://www.ntt-expos.com/kematian-ibu-anak-di-ntt-tertinggi-di-indonesia/
http://health.detik.com/read/2011/12/20/130143/1795453/763/bidan-ubah-budaya-panggang-api-ibu--bayi-baru-lahir
http://www.jpnn.com/read/2011/12/21/111854/Perjuangan-Bidan-Bidan-Inspiratif-Melawan-Kuatnya-Tradisi-Lokal-
Agenda 2030 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Suistable Development Goals) yang didukung oleh European Union, Infid, Koalisi Perempuan Indonesia dan Oxfam
Mba Alida, tulisannya bagus banget. Saya jadi lebih sadar untuk melihat sekitar yang lebih luas, selama ini yang saya lihat hanya di Jogja dan paling jauh ya hanya seputar pulau Jawa saja, kurang tahu mengenai kondisi-kondisi di luar Jawa. Tapi ternyata di Jawa pun masih ada yang berpegang teguh pd tradisi pdhl bertentangan dengan kesehatan, di dekat rumah saya yang sudah agak kota pun demikian. Saya salut dengan tenaga-tenaga medis yang masih muda-muda dan bersemangat tinggi untuk melakukan sosialisasi tentang dunia kesehatan dan melakukan perbaikan fasilitas dan layanan di puskesmas. Semoga daerah lain segera mengikuti :D
Reply DeleteAlhamdulillah. Terima kasih mba Novi :). Iya bener mba. Semoga banyak daerah yang semakin maju di bidang kesehatan ya mba
Reply Deletetulisannya sangat menarik mbak..kasian banget ya kalu kita melihat saudara2 kita di kupang...kekurangan tenaga medis.mengerikan banget ya mbak.
Reply DeleteTerima kasih mba Prana. Iyaa. Tak hanya di KUpang mba. Tapi banyak daerah seperti ini :(
Reply Deletewaduh, aku baru tau mbak itu tradisi yang ibu dan anak dipanggang..aku ngeliatnya jadi sesak napas :)
Reply DeleteIya mba Tuty. Ini masih terjadi :(
Reply DeleteKasian ya mba. Kurangnya akses komunikasi dna infrstruktur secara tak langsung jadi penyebab tak meratanya akses masyarakat akan kesehatan.
Reply DeleteDan mengenai tradisi ini duh speechless. Memamg harus segera dicerahkan. Tapi saya tahu tak mudah mendobrak tradisi yang mendarah daging.
Semoga kesadaran akan pentingnya kesehatan bisa mengalahkan ego ya. Amin
Bener banget mba Ira. Tak mudah memang mendobrak tradisi ini mba :)
Reply DeleteWah artikel berat ini Bu
Reply Deletemaksudnya syarat ilmu dan wawasan. Banyak data dan fakta yang disajikan, saya jadi nambah nih pengetahuan terkait tim kesehatan khususnya perempuan yang sekaligus pelaku dan pemeran
Iya Alhamdulillah kalau nambah data ya teteh
Reply DeleteNTT kondisinya tragis banget ya mbak. Sudahlah ketinggalan infrastruktur dan tantangan alam, budaya setempat juga mengambat pemberian kesehatan secara cepat
Reply DeleteIya mba. Tapi banyak daerah juga yang dekat di Jakarta tapi malah kurang dalam hal infrastruktur
Reply Deleteaduh..malah tambah sakit... masa ibu n bayi si asepin gitu... bisa kena penyakit paru2 tuh.... harusnya tradisi ini tak ada lagi
Reply DeleteTapi ini kenyataannya mba Nova. Tradisi ada
Reply DeleteAku baru tahu ada tradisi ibu dan anak diasapi, nggak tega :(
Reply DeleteTapi mungkin saja ini baru satu tradisi yang menurutku membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Siapa tahu di daerah-daerah lain ada tradisi lain juga yang harus diubah dari segi kesehatan cuma memang belum ketahuan aja.
Bener. Dan kita salut ya sama sosok perempuan yang mampu mendobrak tradisi itu
Reply DeleteYa Allah, sedihnya. Itu tuh yg paling aku takutin setiap mau lahiran. Takut kenapa2. :(
Reply DeleteSemoga nggak ada apa2 ya mba
Reply DeleteYa Allah sedih banget, emang ya tradisi masyarakat kita ada aja yang membuat perempuan jadi lebih rendah. Enggak diberi kesempatan untuk sejajar dalam berkomunikasi, hiiks... Sedih baca ini.
Reply DeleteBegitulah, mba Naqiyyah :(
Reply DeleteTak mudah karena ini sudah turun menurun mba
Aku selalu suka tulisan tentang perempuan dan pengaruh budaya patriarki di Indonesia seperti ini... Bikin ingin bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. Terimakasih sudah berbagi, Mbak
Reply DeleteTerima kasih sudah mampir mba. Salam kenal mba Mel :)
Reply DeleteTerima kasih mba Alida, saya suka banget sama postingan ini. Jadi tau tradisi disana, ya namanya tradisi dan adat gak bisa dibantah:)
Reply DeleteTerima kasih mba Yuniar. IYa mba, tradisi memang butuh perjuangan jika ingin mendobraknya
Reply DeleteDi daerah Indonesia Timur banyak kasus seperti itu Mbak. Saya pernah mengikuti acara yang dokter di daerah tersebut mendpatknan penghargaan. Di daerah tersebut seingat saya di NTT juga ada rumah tunggu persalinan yang merupakan tempat ibu2 yang mau bersalin ditangani, sudah didukung sama pemerintahnyajuga. Saya pernah menuliskannya di blog. Beruntung kita-kita yang akses kesehatannya mudah ya Mbak
Reply DeleteSyukurlah jika demikian ya mba Niar. Baik, insyaAllah kapan2 aku mampir mba :)
Reply DeleteMasih banyak hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya.
Reply DeleteProyek2 mercu suar sebaiknya dikurangi dan diganti dengan proyek yang menyentuh kehidupan rakyat banyak
Salam hangat dari Jombang
Bener banget, pakdhe :)
Reply DeleteSeneng bacanya, detail banget mba. Terkadang kepikiran, persoalan perempuan seperti tak ada habisnya ya, hehehe.
Reply DeleteMasalah kesehatan merupakan masalah yang utama, karena perempuan melahirkan generasi penerus
Terima kasih mba Nefertite. Masalah kesehatan penting banget ya mba
Reply DeleteMasya Allah..bergetar hati Saya membaca kisah hidup yg memilukan para perempuan tsb :'(
Reply DeleteIya mba Siethi :(
Reply DeleteJadi miris banget membacanya. Betapa di Kupang kekuasaan laki-laki benar-benar nyata bahkan saat nyawa jadi taruhannya. Berharap, fasilitas dan tenaga medis di semua wilayah Indonesia bisa sama dan standar antara daerah satu dan yang lainnya. Tidak hanya di kota saja yang fasilitas RS nya lengkap
Reply DeleteIya harapannnya pun demikian mba
Reply Deletesedih banget mbak bacanya :(
Reply Deletebanyak banget ya ibu dan anak yang meninggal gitu...
dan... saya shock baca tradisi yang memanggang itu..
apalagi sampai sekarang masih dijalankan... asapnya kan bahaya buat pernafasan :(
Iya harus pelan2 untuk diedukasi mba
Reply DeleteMakasih ya udah mampir
mungkin harus ada edukasi lebih jauh lagi terkait ini, kasihan ibu dan anaknya
Reply Delete