Kisah Hidup di 3 Kota

Blog ini berisi tentang kisah perjalanan, catatan kuliner, kecantikan hingga gaya hidup. Semua ditulis dari sudut pandang penulis pribadi

Kisah Hidup di 3 Kota

Adakah kerinduan yang pernah teman-teman rasakan pada kampung halaman? Saat ini, itulah yang saya rasakan.

Kota Ambon Manise
Saya rindu pulang ke tempat yang pernah saya tinggali. Kalau ada yang bertanya, dimana kampung halaman saya, saya akan menjawab Ambon. Tapi tak hanya Ambon yang kota yang saya pernah saya tinggali. Sepanjang hidup saya, saya telah menetap di tiga kota di Indonesia. Saat ini, saya akan berbagi tulisan tentang kota-kota yang pernah saya tinggali.

Ambon

Saya mengabiskan hampir 17 tahun hidup di kota Ambon walau saya tak lahir di kota Ambon. Kok bisa?

Jadi begini ceritanya. Ketika saya berusia 3 bulan, mama dan papa saya hidup beberapa bulan di Pulau Seram, Maluku. Pulau itu bisa ditempuh dengan perjalanan menggunakan kapal selama 6 jam perjalanan.

Setelah tiga bulan di Pulau Seram karena pekerjaan, mama dan papa pun pindah ke Ambon. Di Ambon ada Bib dan Baba saya (kakek nenek dari keluarga papa). Ada juga keluarga besar papa yang memilih hidup di Ambon.
 
Salah satu sudut kota Ambon. Foto tahun 2017 
Awal pernikahan papa dan mama, kami hidup bersama keluarga besar Papa. Tak heran saya akrab dengan adik adik papa karena hidup lama satu atap. Setelah papa dan mama memiliki rumah sendiri di kawasan Waitatiri, Maluku Tenggara, kami pun pindah rumah.


Tapi kepindahan itu hanya berlaku buat mama, papa dan adik saya. Saya tak boleh pindah karena Baba meminta saya tetap tinggal bersamanya.

Jujur, kala itu saya kesal karena pengen tinggal sama Mama dan Papa tapi tak diperbolehkan. Tapi saya tahu bahwa Baba melakukan itu karena sayang sama saya dan tak ingin berpisah dengan saya. Baba saya menderita stroke sehingga segala aktifitasnya harus dibantu oleh saya atau tante saya.

Di Ambon, saya sangat menikmati masa kecil saya. Penduduknya yang ramah-ramah, pemandangan pantainya yang luar biasa indah hingga kulinernya yang sungguh menggugah selera. Konflik Ambon tahun 1999 mau tak mau memaksa saya sekeluarga pindah ke Sidoarjo. Sesuatu yang tak pernah saya duga karena kami pindah tanpa membawa barang apapun.


Saya tahu itu pun semua serba mendadak dan terpaksa saat di atas kapal papa meminta kami untuk melanjutkan pendidikan di Surabaya. "Tapi katong (kami) nggak bawa apapun," kata saya ke papa. Papa berusaha menenangkan dan meyakinkan bahwa segalanya akan berjalan lancar dan dalam perlindungan Allah.


Ambon kemudian menjadi kota yang sangat saya rindukan untuk selalu pulang. Walaupun sekarang Papa saya tinggal bersama saya di Jakarta, tapi di Ambon masih ada tante dan om saya di Ambon. Terakhir saya ke Ambon sekitar dua tahun lalu untuk menengok tante saya, Ibu Mem yang terkena sakit stroke.

Sidoarjo-Surabaya, Jawa Timur

Saya lahir di kota Sidoarjo yang terletak sekitar satu jam perjalanan dari kota Surabaya. Di Sidoarjo, saya lahir di RS Siti Khodijah yag berjarak sekitar 20 menit dari rumah eyang (kakek saya dari keluarga mama). Awal lahir saya hanya tiga bulan saja di Sidoarjo dan kemudian ke Pulau Seram, Maluku.

Selama menetap di kota Ambon, terkadang kami ke Sidoarjo menggunakan kapal laut dan harus menempuh perjalanan 4 hari 3 malam. Perjalanan yang panjang kan ? Konflik Ambon tahun 1999 membuat saya sekeluarga kembali ke rumah orangtua mama saya di Sidoarjo.


Di Sidoarjo, saya melanjutkan pendidikan hingga bekerja di Majalah Gatra. Sidoarjo-Surabaya adalah dua kota yang berjarak berdekatan. Ya seperti Jakarta-Depok sehingga bisa ditempuh pulang pergi setiap hari. Saya tinggal di Sidoarjo dan bekerja di Surabaya.
 
Adik ipar, saya dan adik papa saat saya berkunjung di Surabaya tahun 2017
Total 6 tahun saya hidup di Sidoarjo. Namun entah kenapa, bahasa Jawa saya lemah sekali. Kalau bahasa Jawa ala Surabaya yang sederhana, saya paham. Tapi seringkali saya hanya diam termangu saat teman saya berbahasa Jawa. Kalaupun ngerti bahasa Jawa ya sekedarnya saja. Pernah saya coba berbahasa Jawa dengan orang yang tak saya kenal tapi hasilnya, bahasa Jawa saya tak dipahami. Hiks...

Sekarang saya kalau ketemu teman di Surabaya atau Sidoarjo ya pakai bahasa Jawa sederhana seperti “Kok iso?” atau “Sopo yang ngmong koyok ngono?” Sederhana kan? Kemampuan beradaptasi bahasa Jawa saya sungguh payah.

Jakarta

Selepas kuliah, saya kemudian dimutasi ke Jakarta. Saat itu kantor biro di Surabaya ditutup dan dua karyawan dari Surabaya dipanggil ke Jakarta. Pertama kali pindah ke Jakarta saya seperti orang hilang. Ya iyalah, Jakarta sumpek dan penuhnya masyaAllah. Macetnya dimana-mana bikin stres.

Awal ditugaskan di Jakarta, saya kebablasan tidur di bus karena kecapean liputan di Jakarta menggunakan angkutan umum. Naik turun bus. Kebingungan menemukan tempat liputan hingga tersasar di Jakarta sudah menjadi pengalaman saya hampir setiap hari.

Di Jakarta saya ngekost di rumah yang terletak tak jauh dari kantor. Tapi sebetulnya hidup saya lebih banyak di kantor karena seringkali saya lebih banyak tidur di kantor atau liputan luar kota. Jakarta dengan segala kompleksitasnya tetap membuat saya seolah benci tapi cinta.

Saya benci dengan segala kemacetan Jakarta yang tak ada habis-habisnya. Tapi saya jath cinta dengan Jakarta karena membuat saya semakin kaya pengalaman dalam kehidupan. Jakarta membuat saya semakin belajar mandiri dan kuat. Saya tak ingin menyerah saat hidup di Jakarta karena saya tahu jika ingin bahagia maka nikmatilah kota tempat kita bekerja dan mencari penghidupan.

Sesuatu yang tak pernah saya duga adalah menikah dan kemudian kini menetap di Jakarta. Alhamdulillah dengan segala perjuangan bersama suami, kami memiliki rumah di Jakarta. Jakarta hingga kini menjadi tempat yang akan kami tinggali.

Kalau ada yang bertanya ingin pindah ke mana ? Saya akan menjawab MADINAH! Hahhaa jauh kan ya ? Tapi ya entahlah kapan keinginan ini terwujud. Sambil menunggu, saya memilih untuk bersyukur Allah berikan saya hidup di kota-kota yang memberikan kesan baik kepada saya.  

Kalau teman pernah tinggal di kota mana saja ? Apa pengalaman yang berkesan selama tinggal di kota itu ?

৫টি মন্তব্য

Avatar
herva yulyanti ২৬/১১/১৮, ৮:৪২ AM

aamiin semoga ya ummi bisa pindah ke MAdinah, Jakarta emang ga kuat macetnya tapi disanalah cinta tumbuh ummi wkwkwkk

Reply Delete
Avatar
Yas Marina Dewi ২৬/১১/১৮, ৯:২৪ AM

Wow... yang satu Ambon, yang satunya lagi Sidoarjo. Memang jodoh ya hehe... jadilah Mba. Yang soal cita-cita ke Madinah itu, semoga terkabul ya 😊

Reply Delete
Avatar
Inna Riana ২৭/১১/১৮, ১:৫৮ PM

ikutaaan pengen pindah ke madinah mbaaa... rasanya ademmm

Reply Delete
Avatar
Hidayah Sulistyowati ২৮/১১/১৮, ২:১২ AM

Seru nih tinggal 17 tahun di Ambon, apalagi dari bayi ya. Menjelajahi kota-kota di Indonesia

Reply Delete
Avatar
Girindr Wiratni Puspa ৪/২/১৯, ৭:০৫ PM

Wah artikel yang renyah banget, aku seneng bgt mengalir mengikuti ceritanya. Aku tadi nyari2 artikel seputar kehidupan di Ambon&nemu ini. Kalau ditanya, aku pernah tggal di kota mana saja,

Saat umur 1-2 di Jember
Umur 2 tggal sebentar di Denpasar
Kemudian pindah ke Surabaya sampai umur 9
Kemudian pindah lagi ke kota Batu sampai umur 19 th
Lalu saya kerja di Gresik sampai umur 21
Dan balik lagi ke Malang sampai umur 24


Setelah lulus kuliah, saya kerja ke Jerman dan tinggal di München setahun
Lalu sampai sekarang di Hamburg.

Ini lagi mikir2 pengen pulang ke Indonesia dan menetap di Ambon. Aaaminn

Reply Delete