LAPUT

Blog ini berisi tentang kisah perjalanan, catatan kuliner, kecantikan hingga gaya hidup. Semua ditulis dari sudut pandang penulis pribadi

LAPUT

Mendongkrak Penerimaan Non-Tiket
Ada banyak cara mencari uang tambahan dari bisnis transportasi udara. Ini pula yang dilakukan Air Asia, Sriwijaya Air, dan Batavia Air.

Biarpun nilainya tidak besar-besar amat, pemasukan dari non-tiket itu bisa menambah pundi-pundi perusahaan.Indonesia Air Asia membukukan penerimaan lain dari pemasangan iklan dan penjualan barang di dalam pesawat. ''Hasilnya tak besar. Hanya auxiliary income,'' kata Sendjaja Widjaja, Presiden Direktur Indonesia Air Asia. Dalam hitungannya, pemasukan dari pos non-tiket baru sekitar 5%.Biar tetap mengandalkan pemasukan dari tiket murah, Sendjaja Widjaja menyatakan, keuntungan tetap bisa diraih tanpa mengorbankan keselamatan. ''Caranya, menekan cost perusahaan di luar biaya perawatan,'' katanya. Misalnya dengan cara menyewa pesawat. ''Lebih murah daripada membeli,'' ia menambahkan.Sendjaja menampik anggapan bahwa pesawat bertarif murah berarti tak aman. ''Itu tergantung konsep masing-masing maskapai tentang keselamatan penerbangan,'' ujarnya.

Bagi Air Asia, keselamatan adalah yang utama. ''Kultur terhadap safety di perusahaan penerbangan juga harus berkembang,'' kata Sendjaja.Upaya menambah pundi non-tiket dengan menggandeng pemasang iklan bakan ditempuh Batavia Air. Caranya dengan ''menjual'' bodi pesawat sebagai ruang iklan. Namun belum bisa dipastikan kapan agenda itu kesampaian. ''Kami belum menemukan produk dan harga yang cocok,'' ucap Anton Situmeang, Public Relations Manager Batavia.Batavia juga ''menjual'' simulator Batavia Training Centre (BTC) miliknya. Ada tiga simulator pesawat yang dipunyai, yakni Boeing 737-200, 737-300, dan 737-400. BTC yang berdiri pada 2003 itu berlokasi di kompleks Bandara Mas, dekat Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.

Selama ini, simulator itu banyak dipakai pilot maupun teknisi Batavia. Tak tertutup kemungkinan bagi pilot maskapai lain untuk memakainya. ''Ini sumber pemasukan buat Batavia,'' kata Anton. ''Saingan kami hanya Garuda,'' ia menambahkan.Awalnya Batavia tak menyediakan layanan makanan dan minuman. Pada awal 2006, sajian makanan dan minuman diadakan. Namun penumpang mesti bayar kalau menginginkan nasi goreng, nasi kuning, serta beragam jenis roti dan jus.

Harganya tentu lebih mahal dibandingkan dengan harga darat. Toh, ''warung udara'' itu hanya berjalan dua bulan. ''Ternyata malah mengeluarkan dana tinggi dan tak menguntungkan,'' tutur Anton.Sebagai gantinya, Batavia memberikan air mineral dan snack gratis bagi penumpang. Ini berlaku untuk penerbangan jarak dekat. Untuk rute jarak jauh seperti Jakarta-Guangzhou, Cina, disediakan makanan berat. ''Kami menyiapkan full meal,'' katanya.Upaya mendongkrak pendapatan yang hingga kini masih jalan adalah penjualan merchandise di pesawat. Yang ditawarkan mulai kacamata, cincin, hingga kalung. Ada 25 item barang yang bisa dilihat di majalah setebal 19 halaman bernama In Flight Shop.

Ada pula miniatur pesawat Batavia jenis Boeing 737 dan Airbus A319. Harganya Rp 60.000.Miniatur pesawat, kosmetik, hingga jaket juga jadi jualan Sriwijaya Air. Ada 57 item yang dilego di pesawat. Jenis produk jualan itu disajikan dalam buku panduan bernama Sky Shop setebal 15 halaman. Harganya bervariasi. Sebotol parfum, misalnya, dilego mulai Rp 80.000 hingga Rp 550.000. Lipstik dari Rp 25.000 hingga Rp 45.000, kaus Rp 40.000 hingga Rp 60.000. Sedangkan jaket harganya Rp 300.000. Miniatur pesawat Sriwijaya Air yang berukuran panjang 16 sentimeter dijual Rp 80.000. ''Dalam satu kali penerbangan bisa menjual sekitar lima item,'' kata Aditya Wardana, Direktur Komersial Sriwijaya Air.Sriwijaya melakukan penjualan di udara itu sejak setahun terakhir.

Tak semua penerimaan dari penjualan ini masuk kantong Sriwijaya. ''Kami bekerja sama dengan Lion Air,'' ujar Aditya. Sebab Lion-lah yang mengantongi izin penjualan di pesawat itu. ''Hasilnya dibagi dua,'' ia menambahkan.Ke depan, Sriwijaya tak akan menjadikan program jualan barang itu sebagai prioritas dalam upaya meningkatkan penerimaan. ''Ini sebatas pemanis,'' katanya. ''Kalaupun dihentikan, tak akan merepotkan Sriwijaya,''Untuk mengurangi pengeluaran, Sriwijaya menempuh strategi khusus. Misalnya, untuk penyediaan permen bagi penumpang, Sriwijaya mengirit dengan menggandeng mitra luar.

Caranya, ongkos pembelian permen sekitar 30% ditanggung Sriwijaya, sisanya dibebankan pada perusahaan yang memasang logo di bungkus permen.Begitu pula penyediaan head cover (kain di sandaran kepala) di kursi penumpang dibebankan pada perusahaan yang ingin memasang logo di sana. ''Biarpun tak besar, pengeluaran bisa ditekan,'' ujarnya.
Irwan Andri Atmanto, Rach Alida Bahaweres, dan Basfin Siregar

1 yorum

Avatar
Agus Warteg 14.12.2019 17:45

Wah mantap, ternyata sudah ngeblog sejak tahun 2007 ya mbak, kalo waktu itu saya baru pegang hp yaitu Nokia 3310. Kenal internet sejak tahun 2010 An sejak pakai hp Sony Ericsson.

Reply Delete